Senin, 02 Juni 2014

qiyas dan masholihul mursalah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Syari’ah merupakan penjelmaan kongkrit kehendak Allah (al-Syari’) ditengah masyarakat. Meskipun demikian, syari’ah sebagai essensi ajaran Islam tumbuh dalam berbagai situasi, kondisi serta aspek ruang waktu. Realitas ontologis syari’ah ini kemudian melahirkan epistemologi hukum Islam (fiqh) yang pada dasarnya merupakan resultante dan interkasi para ulama dengan fakta sosial yang melingkupinya.
Mengingat adanya problematika hukum berkembang terus, sedang ketentuan – ketentuan textual bersifat terbatas, maka konsekuensi logisnya ialah ijtihad tidak dapat dibendung lagi dalam rangka untuk menjawab permasalahan tersebut. Formulasi umum yang dipakai oleh jumhur dalam beristinbath (cara – cara mengeluarkan hukum dari dalail) dalam menetapkan hukum biasanya beranjak dari : a) al-Qur’an, b). al-Sunah dan c). al-Ra’yu berdasarkan firman Allah swt.
Berkaitan erat dengan ra’yu ini jumhur ulama, Abu Hanifah (81 – 150 H. / 700 – 767 M), Malik Ibn Anas (94 – 179 H. / 714 – 812 M), Ahmad Ibn Hanbal (164 – 241 H) biasanya mengekspresikan dengan apa yang disebut qiyas ( al-qiyas atau lengkapnya, al-qiyas al-tamtsili, analogi reasoning), pemikiran analogis terhadap suatu kejadian yang tidak ada ketentuan teksnya kepada kejadian lain yang ada ketentuan teksnya lantaran antara keduanya ada persamaan illlat hukumnya, serta persoalan pertimbangan kemaslahatan atau kepentingan umum dalam usaha menangkap makna dan semangat berbagai ketentuan keagamaan yang dituangkan dalam konsep – konsep tentang istihsan (mencari kebaikan), istislah (mencari kemaslahatan) dalam hal ini kebaikan kemaslahatan umum (al-maslaha al-amah, al-maslahah al-mursalah). Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan menjelaskan qiyas dan mashlahah mursalah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari qiyas ?
2.      Bagaimanakah kehujjahan qiyas ?
3.      Apa sajakah rukun-rukun qiyas ?
4.      Apa sajakah macam-macam qiyas ?
5.      Apa pengertian dari masholihul mursalah ?
6.      Bagaimanakah kedudukan masholihul mursalah sebagai sumber hukum ?
7.      Apa sajakah macam-macam masholihul mursalah

C.    Tujuan Makalah
1.      Memahami qiyas dan implementasinya sebagai sumber hukum islam.
2.      Memahami masholihul mursalah sebagai sumber hukum islam, mengetahui kehujjahannya dan pembagian,
BAB 11
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qiyas
Secara etimologis kata “qiyas” berarti “qadar” artinya mengukur atau membandingkan sesuatu dengan semisalnya.[1] Hasby ash Shidiqy mengartikan qiyas secara bahasa yakni mengukur dan memberi batas. Menurut istilah ahli ushul qiyas ialah: “ menghubungkan hukum sesuatu pekerjaan kepada yang lain, karena kedua pekerjaaan itu sebabnya sama yang menyebabkan hukumnya juga sama”.[2] Abu al-Husain al-Bashri juga mengemukakan definisi, yang menyebutkan bahwa qiyas adalah menerapkan hukum yang ada pada ashal (pokok) kepada far’ (cabang), karena terdapat kesamaan ‘illat hukum antara keduanya.[3]
Pengertian qiyas secara terminology (istilah hukum) terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi tersebut adalah :
1.      Menurut Sulaiman Abdullah mengenai istilah yang disampaikan oleh ahli ushul yakni: ”qiyas adalah mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash.[4]
2.      Bertolak  dari definisi tersebut, al-Syaukani merumuskan definisi lain bahwasanya qiyas adalah: upaya mengeluarkan hukum atas sesuatu yang belum ada hukumnya, dengan memperhatikan kesamaan  ‘illat antara keduanya.
Qiyas menurut ulama ushul ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mengenai qiyas ini imam Syafi’I mengatakan: “setiap peristiwa pasti ada kepastian hukum dan ummat islam wajib melaksanakannya. akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumnya yang pasti, maka harus dicari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad dan ijtihad itu adalah qiyas.
B.     Kehujjahan Qiyas
Para ulama’ ushul fiqih menganggap qiyas secara sah dapat dijadikan dalil hukum dengan berbagai argumentasi, antara lain:
Surat an-Nisa’ ayat 59:
ياأيّها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرّسول وأولي الأمر منكم فإنتنازعتم في شيء فردّوه إلى الله
 والرّسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا (النساء :4/59)
Artinya : hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.        
C.    Rukun Qiyas
Basarkan definisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena ‘illat serupa, maka rukun qiyas ada empat macam, yaitu:
1.      Al- Ashl : sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum atau wilayah tempat sumber hukum. Ashl merupakan masalah yang telah ditetapkan hukumnya dalam al-quran dan sunnah. Ashl disebut juga dengan Al-Maqis ‘Alaih (tempat mengiyaskan sesuatu). Misalnya, khamar yang ditegaskan haramya dalam surat al-maidah:90: Artinya : Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. 
2.      Furu’ : sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam nash. Maksudnya adalah sesuatu yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam al-qur’an, sunnah atau ijma’, yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas. Misalnya minuman keras wisky.
3.      ‘illat : yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hukum, dengan persamaan sebab inilah baru dapat di qiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (ashl) karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara ashl dengan furu’.
4.      Al-Hukm : hukum syara’ yang terdapat pada ashl yang hendak ditetapkan pada far’u (cabang) dengan jalan qiyas. 
Contoh : Misalnya dalam nash telah ditetapkan bahwa khamar adalah haram (ashl) karna memebukkan, wiski (far’u) dalam nash kita tidak menemukan hukum neminumnya, kemudian kita mengetahui bahwa wiski itu memebukkan (‘illat) dalam nash telah ditentukan bahwa hukum minuman haram itu memebukkan (hukm al-ashl) kemudian kita qiyaskan bahwa khamar itu memebukkan dan wiski jaga memebukkan jadi hukum wiski itu haram karna sama-sama minuman yang memebukkan. 

D.    Macam-Macam Qiyas
Dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok tempat menqiyaskan) dan yang terdapat pada cabang, maka qiyas dibagi menjadi tiga cabang :[5]
1.      Qiyas Aula : bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u lebih utama daripada ‘illat yang terdapat pada ashal. Misalnya, menqiyaskan hukum haram memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “Ah” yang terdapat dalam surat al-Isro’ ayat 23:
.....فلا تقل لهما أفّ.....(الإسراء/17: 23)
Artinya : maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.
Karena alasan (‘illat) sama-sama menyakiti orang tua. Namun, tindakan memukul yang dalam hal ini adalah cabang (far’u) lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatakan “ah” yang ada pada ashal.
2.      Qiyas musawi : dimana ‘illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, ‘illat hukum haram membakar harta anak yatim yang dalam hal ini adalah cabang (far’u) sama bobotnya dengan ‘illat haramnya dengan tindakan memakan harta anak yatim yang diharamkan dalam ayat:
إن الذين يأكلوون أموال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا (النساء:3 / 10)               
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Karena tindakan tersebut sama-sama melenyapkan harta anak yatim.
3.      Qiyas adna, yaitu qiyas dimana ‘illat terdapat pada furu’ lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat pada ashal.  Misalnya, sifat memabukkan yang terdapat dalam minuman keras bir umpamanya lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat pada minuman keras khamr yang diharamkan dalam ayat:
يأيها الذين ءامنوا إنّما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه
 لعلّكم تفلحون (المائدة: 5/90)
Artinya : hai orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaiton. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Meskipun pada ashal dan cabang sama-sama terdapat sifat memabukkan sehingga dapat diberlakukan qiyas.
Sedangkan dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat sebagai landasan hukum, maka qiyas dibagi menjadi dua :
1.      Qiyas jali, yaitu qiyas yang illlatnya ditetapkan dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan illat itu dalam nash, namun titik pembedaan antara ashal dengan furu dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
2.      Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash. Maksudnya diistinbatkan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhanni.
E.     Pengertian Mashlahah Mursalah
Masholihul mursalah menurut istilah terdiri dari dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah. kata al-maslahah adalah seperti lafazh al-manfa’at, yang mengandung arti manfaat.[6] Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat.[7] Menurut Abdul-Wahhab Khallaf, mashlahah mursalah merupakan sesuatu yang dianggap mashlahat namun tidak ada ketegasan hokum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil terentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya.
F.     Macam-macam Masholihul Mursalah
Maslahat secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian, diantarannya:
a.       Pertama, mashalih al-mu’tabiroh : Pada pointer ini syari’at menjelaskan secara langsung (tekstual) melalui nash atau ijmā’ atau dengan hukum yang disepakati oleh nash dan ijmā’ diantaranya -seperti pendapat Al-Ghazali- qiyas. Elemen yang membentuk maslahat pada mashlahah ini seperti menjaga agama (khifdzu al-din) yaitu perintah untuk jihad dan memerangi orang-orang yang murtad, menjaga jiwa (khifdzu an-nafs) yaitu dengan memberikan hukuman qishos terhadap orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja, menjaga akal (khifdzu al-‘aql) yaitu menerapkan sanksi atas orang yang minum khamr, menjaga keturunan (khifdzu an-nasl/al-‘irdh) yaitu menghukum pelaku yang berbuat jina dan menjaga harta (khifdzu al-mal) yaitu mengharamkan pencurian dan memotong tangan bagi orang yang melakukan hal itu. Ini semua dikenal dengan istilah ushūlul khomsah atau sifatnya dhoruriyah.[8]
b.      Kedua, mashalihul mulghōh. Untuk maslahat yang berbenturan dengan nash qoth’i para ulama sepakat untuk tidak menggunakan dalam kehidupan karena sudah jelas ketidakabsahannya. Seperti persamaan (equality) perempuan dalam hak waris ini kontradiktif dengan nash Al-Qur’an {يوصيكم اللّه في أولادكم للذّكرمثل حظّ الأنثيين} surat An-Nissa:11. Atau orang yang menambah hartanya dengan cara riba, karena Allah sudah menjelaskan {وأحل اللّه البيع وحرّم الربي}.
c.       Ketiga, mashalihul mursalah atau al-mashlahatul maskut ‘anha. Walaupun Al-Qur’an memuat kandungan hukum/konstitusi, tetapi tidak secara detail mengulas aspek juz’iyyat. Tidak adanya nash khusus yang memerintahkan ataupun melarangnya menjadi alasan yang memungkinkan seseorang untuk menentukan hukum suatu permasalahan yang berkembang pada saat sekarang ini dengan tetap berpegang pada prinsip awal yaitu memberikan manfaat dan menghilangkan madharat. Seperti pengumpulan mushaf Al-Qur’an dan menyatukannya pada masa Abu Bakar serta dibukukan menjadi satu oleh pada zaman Utsman bin Affan sebagai refensi utama.

G.    Kedudukan Masholihul Mursalah Sebagai Sumber Hukum
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul marsalah sebagai sumber hukum.
1.      Jumhur ulama’ menolaknya dengan alasan :
Ø  Bahwa dengan nash-nash dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatan manusia yang tidak diperhatikan oleh syari’at melalui petunjuknya.
Ø  Pembinaan hukum-hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
2.      Imam malik membolehkan berpegang kepada mashalihul mursalah secara mutlak.
Namun, menurut imam syafi’i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil dengan dalil kully atau dalil  juz’iy dari syara’. Pendapat ini didasarkan kepada :
Ø  Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah, berkembang terus dan tidak ada habis-habisnya. Jika pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syar’i atau Allah, tentu  banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya/kosong pada masa dan tempat yang berbeda-beda. Dengan demikian, hukum islam tidak dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia. Padahal tujuan hukum islam ialah untuk menciptakan kemaslahatan manusia pada semua tempat dan waktu.
Ø  Para sahabat dan tabi’in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syar’i. misalnya membuat penjara, mencetk uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat alqur’an dll,..
Ø  Menurut penelitian, bahwa hukum-hukum dan peraturan yang diproduksi oleh para sahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahid adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Kalau sesudah periode ini tidak ada lagi produk kemaslahatan, maka keadaan umat setelah periode ini akan menemui kesulitan dalam menghadapi kehidupan.
























BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Menurut istilah ahli ushul qiyas ialah: “menghubungkan hukum sesuatu pekerjaan kepada yang lain, karena kedua pekerjaaan itu sebabnya sama yang menyebabkan hukumnya juga sama”.
Rukun qiyas ada empat macam, yaitu: a. Al- Ashl : sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum atau wilayah tempat sumber hukum. b. Furu: sesuatu yang tidak ada ketentuannya dalam nash.  c. ‘illat : yaitu suatu sebab yang menjadikan adanya hukum, dengan persamaan sebab inilah baru dapat di qiyaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (ashl) karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara ashl dengan furu’. d. Al-Hukm: hukum syara’ yang terdapat pada ashl yang hendak ditetapkan pada far’u (cabang) dengan jalan qiyas. 
Mashlahah mursalah merupakan sesuatu yang dianggap mashlahat namun tidak ada ketegasan hokum untuk merealisasikannya dan tidak pula ada dalil terentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya.















DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana,2008).
Muhammd Hasbi Ash Sidieqy Teungku, Pengantar Hukum Islam, (Semarang; Pustaka Rizki Putera,2001).
Rusli Nasrun, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani, (Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu).
Abdullah Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta:Siinar Grafika, 2004).
Effendi Satria, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2009).
Syafe’i Rahmat, MA.Ilmu Ushul Fiqih.(Bandung: CV. PUSTAKA SETIA).
Zaedan Abdul Karim, Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh, Beirut, 1996. Muassatul Risalah.
Asy-Syatibi Abu Ishaq, Al-Muwafaqot fi Ushul Asy-Syari’ah, Kairo, 2003. MaktabahTaufiqiyah, jilid 2 hal.6. DR. Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh, Damaskus, 2006. Darul Fikr Suriah.




[1] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta:Kencana,2008),hal.158.
[2] Teungku Muhammd Hasbi Ash Sidieqy,Pengantar Hukum Islam,(Semarang;Pustaka Rizki Putera,2001),hal.200.
[3] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani, (Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu), hal. 130.
[4] Sulaiman Abdullah,Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya , (Jakarta:Siinar Grafika,2004),hlm.82
[5] Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2009), Hal. 140.
[6] Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, MA.Ilmu Ushul Fiqih.(Bandung: CV. PUSTAKA SETIA), hlm. 117.
[7] Abdul Karim Zaedan, Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh, Beirut, 1996. Muassatul Risalah, hal. 236.
[8] Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqot fi Ushul Asy-Syari’ah, Kairo, 2003. Maktabah Taufiqiyah, jilid 2 hal.6. DR. Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh, Damaskus, 2006. Darul Fikr Suriah, hal.92

2 komentar: